Beranda | Artikel
Menggapai Jenjang Perwalian (Seri-3)
Selasa, 12 Juli 2011

Beberapa kesalahpahaman tentang kewalian yang terjadi ditengah-tengah masyarakat yaitu:

  1. Berasumsi bahwa seorang wali itu maksum (terbebas) dari segala kesalahan,  sehingga Mereka menerima segala apa yang dikatakan wali.
  2. Berasumsi bahwa seorang wali itu mesti memiliki  karomah (kekuatan luar bisa).
  3. Berasumsi bahwa seorang wali dapat mengetahui hal-hal yang ghaib.

Banyak orang memahami bahwa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak kewalian kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini sangat jauh dari kebenaran yang terdapat dalam Islam. Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para Nabi dan Rasul dalam hal menyampai wahyu yang Mereka terima.

Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “setiap anak adam adalah pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat.”  (HR. At Tirmizi no: 2499).

Pemahaman seperti ini telah menyeret banyak orang kedalam kesesatan, dan lebih sesat lagi ada yang berpendapat bahwa wali lebih tinggi derajatnya dari Nabi sebagaimana pandangan orang-orang Rafidhah (syi’ah) dan sebagian dari orang-orang sufi. Sebagaimana seorang kyai sufi mengaku bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang mencium lututnya ketika ia saat di Raudhah?! Yang lebih aneh lagi adalah banyaknya orang yang percaya dengan kebohongan yang amat nyata tersebut?! Oleh sebab itu kebanyakan Mereka mengkultuskan sang kyai atau sang guru dan membenarkan kesesatan yang dilakukan oleh sang kiyai atau sang guru sekalipun perbuatan tersebut nyata-nyata melanggar Alquran dan Sunah.

Bahkan dikisahkan bila seorang murid melihat sang guru minum khamar, maka sebenarnya ia minum susu, tapi yang salah adalah penglihatan sang murid karena matanya berlumuran dosa, begitulah orang-orang sufi melakukan dokrin dalam menyebarkan kesesatan mereka.

Bentuk kedua dari kesalah pahaman dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka mesti memiliki karomah yang nyata bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai. Seperti tahan pedang dan sebagainya. Tapi sebetulnya itu semua adalah tipuan Setan. Seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar disisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah tapi yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali.

Oleh sebab itu Abu ‘Ali Al Jurjaany berpesan, “Jadilah engkau penuntut istiqamah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah, dan tuhanmu menuntut darimu istiqomah.”

Betapa banyaknya para shahabat yang merupakan orang terdepan dalam barisan para wali tidak memiliki karomah. Begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hamba yang paling mulia disisi Allah waktu berhijrah beliau mengendarai onta bukan mengendarai angin, begitu pula dalam perperangan beliau memakai baju besi bahkan pernah cedera waktu perang uhud. Karomah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali. Karomah diberikan Allah kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya, atau untuk menambah keyakinannya kepada ajaran Allah, atau pertolongan dari Allah terhadap orang tersebut dalam kesulitan. Para ulama menyebutkan seseorang yang tidak butuh kepada karomah lebih baik dari orang yang butuh kepada karomah. Bahkan kebanyakan para ulama salaf bila Mereka mendapat karomah justru Mereka bersedih dan tidak merasa bangga karena Mereka takut bila hal tersebut adalah istidraaj (tipuan). Begitu pula Mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi menerima balasan amalan mereka setelah Mereka menerima waktu  didunia dalam bentuk karomah. Begitu pula bila Mereka di beri karomah, Mereka justru menyembunyikannya bukan memamerkannya atau berbagga diri dihadapan orang lain.

Bentuk kesalahpahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka dapat mengetahui hal-hal yang ghaib. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan firman Allah,

{وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُو}

DisisiNya (Allah) segala kunci-kunci yang ghaib, tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Allah)”. (Al An’aam: 59).

Dan firman Allah,

{قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّه}

Katakanlah! Tiada seorangpun di langait maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali Allah.” (An Namal: 65).

Termasuk para Nabi dan Rasul sekalipun tidak dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali sebatas apa yang diwahyukan Allah kepada Mereka.  Sebagaimana firman Allah kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,

{قُل لاَّ أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ}

Katakanlah! ‘Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa disisiku gudang-gudang rezki Allah, dan akupun tidak mengetahui hal yang ghaib.’” (Al An’aa: 50)

Dan firman Allah,

{قُل لاَّ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرّاً إِلاَّ مَا شَاء اللّهُ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ}

Katakanlah! “Aku tidak memiliki untuk diriku mamfaat dan tidak pula (menolak) mudarat, dan jika seandainya aku mengetahui hal yang ghaib tentulah aku akan (memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah ditimpa kejelekkan.” (Al A’raaf: 188).

Asumsi sesat ini telah menjerumuskan banyak manusia kejalan kesyirikan, sehingga Mereka lebih merasa takut kepada wali dari pada takut kepada Allah, atau meminta dan berdoa kepada wali yang sudah mati yang Mereka sebut dengan tawassul. Yang pada hakikatnya adalah kesyirikan semata. Karena meminta kepada makhluk adalah syirik. Tidak ada bedanya dengan kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh u.  Dan orang-orang kafir Quraisy pada zaman jahiliyah. Dengan argumentasi yang sama bahwa Mereka para wali itu orang suci yang akan menyampaikan doa Mereka pada Allah. Hal inilah yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firmannya,

{أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى}

Ingatlah; milik Allah-lah agama yang suci (dari syirik), dan orang-orang mengambil wali (pelindung) selain Allah berkata: kami tidak menyembah Mereka melainkan supaya Mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az Zumar: 3)

=Bersambung insya Allah=

Penulis: Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
Artikel www.dzikra.com


Artikel asli: https://dzikra.com/menggapai-jenjang-perwalian-seri-3/